Rabu, 30 November 2011

Mereka, Ketua dan Pemberi Titah (kepada ku)

Dahsyat, suara mereka yang memberi dukungan untukku memboyongku menjadi bagian dari para pembuat keputusan dinegara ini. Mereka yang menitipkan rasa percaya bahwa aku pasti mendengarkan titah mereka yang kuwakili. Seperti layaknya sebuah suku. Mereka adalah kepala suku, yang harus mengalihkan tugasnya kepadaku. Hanya karena sang kepala suku harus melakukan hal yang berkaitan dengan operasional sehari-hari.

Aku mewakili suara mereka yang mengirimkan ribuan telepati atas apa yang terjadi dan yang mereka perlukan.

Kurangnya pasokan pangan didaerahku, bukan berarti harus melakukan impor dari Negara lain. Rakyatku yang mayoritas petani, hanya perlu diberdayakan untuk berkembang lebih baik. Meninjau apakah krisis ini karena wawasan akan bertani yang tidak tepat, atau mahalnya harga pupuk karena penimbun yang tak bermoral.

Kemajuan negara lain, tidak juga serta merta membuatku, dewan perwakilan akan mengajukan proposal untuk studi banding yang mungkin tidak mengefektifkan waktu melainkan hanya untuk ajang liburan. Ada begitu banyak anak-anak jenius berkebangsaan Indonesia yang masih “berkeliaran” di negara lain. Kirimi mereka surat untuk pulang kembali, membangun dan melestarikan Indonesia dengan menjanjikan bahwa negara ini mampu memberi kesejahteraan, yang tak kalah hebatnya dengan yang ditawarkan negara lain.

Kenyamanan untuk menjalankan tugaspun, bukan berarti negara harus menyediakan mobil dinas mewah, tunjangan dan penghasilan dengan angka fantastis untukku. Sesuatu yang sederhana seringkali membuat lebih elegan dari hanya sekedar menghamburkan uang negara. Padahal, seingatku, uang itu adalah sumbangan dari orang-orang yang telah ku anggap sebagai “ketua” ataupun “komandan”. Maka, alokasikanlah untuk mereka, bukan untuk keluarga dari wakil negara ini. Penghasilan dan tunjangan kerjaku, cukup berada di satu rekening saja. Karena, rupiah yang terlalu banyak akan memusingkanku harus membuka rekening kebank mana lagi. Selebihnya, silahkan perhatikan guru-guru di daerahku, yang telah “membesarkan”ku. Mereka kadang sering memakan lauk sisa semalam hanya untuk penghematan. Tragis dan durhakanya aku jika itu masih terjadi.

Giatkan pembanguan disemua sektorpun, bukan berarti aku akan melupakan, bahwa ada banyak tempat pendidikan yang butuh perbaikan dan perhatian. Karena mereka yang sekarang ada di bangku pendidikan, akan menjadi penerus / pelari estafet selanjutnya. Karena setiap melihat pengemis dan anak jalanan berlari riang di trotoar, aku merasa tidak berhasil untuk membuat mereka kenalan dengan bangku di sekolah dan angka logaritma yang rumit. Itu tidak adil.

Saat masa jabatanku, aku akan membongkar rumah sakit yang angker. Karena, aku tidak akan menerima, mereka-mereka yang sakit menjadi lebih sakit, kritis, koma dan berakhir dengan kematian, hanya karena mereka tidak punya segepok uang untuk “dilemparkan” kewajah instasi kesehatan negara ini. Yang harusnya bertanya “apa gejala / sakit yang dirasakan”, namun seolah-olah bertanya “berapa rupiah yang ada di saku celanamu sekarang”.

Dalam jabatanku, semua saudara sedaerahku minimal, bisa bahagia dalam masa sehatnya, dan tidak mati dalam masa sakitnya. Impianku yang layak untuk dijadikan nyata oleh kalian yang mewakili ku saat ini.


Aku dan Mereka yang diwakilkan, bukan disingkirkan

Andai saja, saat semua rakyat Indonesia mampu tersenyum saat melihat ke piramida paling atas dari pemerintahan Indonesia ini. Maka, kita akan memiliki mimpi yang jauh lebih indah dari sekarang. Berharap andai saja satu saat nanti aku adalah salah satu wanita hebat yang terpilih, untuk mewakili rakyat yang memilihku. Dan yang ada pikiranku, akan terlihat dari deskripsi ceritaku yang akan disertai dengan lampiran jawabannya.

Mengapa harus mengenakan kemeja berdasi ataupun kebaja mahal saat "bertandang" ke pasar, jika hanya akan menghadirkan jarak. Terlalu resmi hanya akan membuat batas.

Tidak berubah, kunci dari seorang wakil rakyat yang akan dicintai seumur hidup. Tak harus menambah aset mewah dengan mobil mentereng. Orang hebat tetap akan disegani walaupun selalu berjalan kaki. Gelapnya kaca mobil, hanya akan membuat orang yang ada didalamnya tak mau melihat keluar, dan tak ada kesulitan rakyat yang diwakilkan akan terdeteksi. Tidak harus membangun rumah mewah, sementara banyak gubuk dan rumah sederhana tak layak huni ada disekelilingnya. Mengapa juga harus selalu berpikir untuk berlibur keluar negri, seolah-olah beban hidup sang wakil rakyat jauh lebih berat dibandingkan rakyat itu sendiri. Jika saja, begitu banyak tingkah laku menyimpang para wakil rakyat sekarang ini, hanya untuk pencitraan diri, bahwa seorang DEWAN harus seperti itu, maka bukan dewan seperti itu aku nantinya.

Aku akan belajar dari seorang guru di daerah pedalaman, yang tanpa “BAJU KEHORMATAN” sekalipun, dia tetap di panggil guru. Seperti nyanyian Oemar Bakri tetap menjadi guru terpandang dan disebut sepanjang masa, meski hanya menggunakan sepeda ontel. Aku, menjadi anggota dewan untuk menjadi wakil dari orang-orang yang sibuk mencari nafkah setiap hari, mengumpulkan sekeping demi sekeping rupiah. Mengolah rupiah untuk membuat anaknya tetap sekolah.

Aku, akan menjadi seorang dewan terhormat dengan hitungan rupiah yang hanya berlebih sedikit untukku, namun berlebih banyak untuk mereka yang memilihku. Tak perlu ada tangis yang mengiris hati, hanya karena meninggalnya seorang yang mengantri sembako ataupun bantuan social. Karena indonesiaku terlalu kaya untuk menggemakan kata “kelaparan dan kemiskinan”.

Aku tidak akan menjadikan rumahku seperti showroom mobil mewah. Tidak ada gunanya terlalu sering studi banding keluar negri, jika rakyatku, masih saja harus menelan bilur pahit saat anaknya harus berhenti sekolah. Untuk apa berpelisir ke Negara luar yang maju, sementara biayanya mampu menampung dan mendidik anak jalanan yang mulai menjamur dibumi pertiwiku tercinta.

Aku, ingin menjadi seorang anggota dewan yang berhasil menjadi wakil dari suara-suara yang tak didengarkan saat ini. Membuat kemudahan bagi mereka yang ingin tetap bersekolah. Kemudahan untuk mereka yang berharap masih bisa memaknai beras.

Kemiskinan, kelaparan, kesenjangan social, perlahan akan ku petimatikan.Tertanam dalam lukisan masa lalu negeri nan kaya ini. Karena, satu saat nanti, saat aku bukan dewan, maka akupun ingin "mendewankan" orang yang mampu melakukan hal yang lebih baik dari apa yang kudapatkan.

Jumat, 18 November 2011

"Land"

"Sering mendengar kalimat yang mengatakan bahwa semua yang ada di dunia ini adalah titipan. Maka Sang Penitip suatu saat akan datang kembali meminta apa yang telah dititipkannya.
Aku langsung berpikir, pada apa yang telah dititipkan kepadaku, sudahkah semua dalam kondisi yang baik atau mungkin sangat baik, saat Engkau datang mengambilnya.
Bukankah, tadinya aku mengatakan bahwa kalimat itu sering diperdengarkan kepadaku..

"Masih ada kah perbaikan untuk itu Tuhan?? Andai saja, apa yang Engkau titipkan kepadaku, ternyata kusia-siakan dalam sengajaku..
Apakah suatu saat akan Engkau kembalikan Tuhan, seumpama memberiku kesempatan kedua untuk memperbaikinya..??
Apakah Engkau akan mempercayakan "sesuatu" yang lebih baik dari kemarin, yang akan Engkau titipkan kepadaku Tuhan?.. Sementara diwaktu lalu, aku tak merawat apa yang Engkau letakkan digenggamanku..?? "

Itu dialog yang didendangkan dalam bisikan kepadaMu.. Karena nyali yang menciut untuk bertanya ketika menyadari ketidak mampuan dalam memikul apa yang Engkau bebankan..
Pertanyaan itu mungkinpernah terselip dalam lisan manusia manapun.

"" Sesuatu yang dititipkan oleh Tuhan seumpamanya lahan. Semua yang bernafas, mendapatkan lahannya masing-masing, lengkap dengan waktu yang telah di set secara otomatis. Ketika dititipkan, lahan itu akan diperlakukan sebagai apa, terserah.
Hanya saja, teruslah ingat, bahwa apa yang kamu tanam dilahan itu, kamu sendiri yang akan menikmati hasilnya. Sesaat tombol waktu menyala, Tuhan akan meminta kembali apa yang telah dititipkan kepadamu. Ada kalanya, isi lahan itu akan langsung dikembalikan oleh Tuhan, bersamaan dengan diambilnya apa yang telah dititipkannya kepadamu.
Namun terkadang Tuhan mengambil semua beserta isinya, dan berjanji akan mengembalikan suatu hari..""

"Lahan yang dititipkan kemarin, telah kamu tanami apa..?? Otak mengingat kembali ke beberapa waktu yang telah lalu...

Pribadi yang akan tersenyum bahagia, adalah ketika tidak pernah lelah menanami bibit kebaikan meski hanya dalam wujud molekul terkecil. Pribadi yang tak memaksa harus berkenalan terlebih dahulu untuk melakukan sesuatu yang bersifat bantuan. Pribadi yang selalu menghiasi wajahnya dengan senyuman untuk memberi kebahagiaan kepada orang lain, meski "hanya" berupa senyuman. Pribadi yang tak berpikir akan mendapatkan apa, namun berpikir mampu memberikan apa.. Dan ternyata, Tuhan mengembalikan panennya dalam "ribuan ton biji gandum dan kurma yang teramat manis".. Pribadi yang terselamatkan dari "miskin"..

Ibaratkan sisi mata uang, Mengapa ada manusia yang terduduk letih. Tak mampu menangis dan tak bersuara dalam memohon untuk mengembalikan waktu, mundur kebelakang..
Tuhan mengembalikan berkarung-karung ulat berbau busuk yang diambil dari lahan yang dulu dititipkan padanya.. Ribuan ulat yang terlahir hanya dari beberapa perbuatan buruknya. dan entah apa lagi...

Selalu ada kesempatan untuk setiap manusia dari Yang Maha Penyayang.. Apapun yang kamu perbuat hari ini, kembali ke tanganmu sendiri, di suatu hari nanti.. Andai Tuhan mengembalikan hal buruknya sekarang, semasa hidupmu, justru karena Tuhan memberikanmu waktu untuk menjadi lebih baik di esok hari.. Setidaknya, Tuhan memberimu kesempatan untuk mencuci kesalahanmu sebelum kamu mati..

''''
Ini apa yang ada dalam pikiran dan kutuangkan dalam bentuk kalimat tanpa suara.. Aku, menulis apa yang kupikirkan, agar kelak, saat aku lupa, tulisan ini membantuku untuk mengkoreksi dari kekeliruan yang ada dalam tulisan ini.. Tulisan ini akan bersuara melalui lisan-lisan orang-orang yang ditempatkan disekelilingku... Orang-orang hebat&istimewa yang membuatku tak berhenti mengucapkan syukur, bahwa dalam skenarioNYA, ALLAH memberikan aku hidup yang sempurna.

Rabu, 16 November 2011

Nagari ko, Awak nan Punyo....

Bahasa campuran antara bahasa daerah (bahasa ibu) ku mungkin akan terselip indah disini..
Memperindah sebuah tulisan yang banyak cacatnya, membuka pintu kritikan untuk "anak nagari" yang selalu mencintai "ranah minang", meski emas di negeri orang jauh membuat kita terlihat "hedon".

Tulisan ini, muncul dari "gelitikan" orang cerdas yang selalu vokal di zamannnya...
Apa yang akan ada di pikiran kita untuk kalimat "tahimpik nak di ateh, takuruang nak dilua"..
Wowww.... betapa hebatnya, itu adalah kalimat pujian yang menyembunyikan pertanyaan "bagaimana bisa ya"..

Tidak ada yang salah pastinya.. Kita yang sudah lama mencium aroma tanah minang yang tak pernah gersang dikelilingi pegunungan apik dengan aliran sungai jernih yang mampu membuat kita selalu ketagihan untuk setidaknya merendamkan kaki, penghilang rasa penat..

Namun, aku menemukan hal yang berbeda ketika berdiri dari luar lingkar rumah gadangku... Berdiri ditengah orang-orang yang heterogen, yang sibuk memicu produktifitasnya untuk tujuan kesenangan dan ketenangan di akhir pekannya...

Tapi, disini tetap ada sekelompok "anak nagari", wajarlah, karena kepopuleran kita dengan hobi merantau... Disinilah, aku melihat ada yang mungkin sedikit sumbing ataupun mengapa "ranah ini" terlihat seolah olah berdiri jauh di belakang "tanah" lain...

"Jan Masuak lo kadalam sumua tu, kok nio tau bara dalamnyo, cukuik tagak di bibia sumua"
"Tagaklah di labuah kok nio mancaliak ba a bantuak rumah gadang tampek wak tingga, elok indak tagaknyo; tapi kok nd ka mungkin ka labuah, tagak lah di laman rumah, jan di dalam rumah"...

Namun tidak mesti berada di luar untuk menjadi sesuatu, karena kita perlu setiap orang berada di sisi keahliannya.. Justru siapa yang ada di dalam sangat memegang peranan yang penting untuk menjaga apiknya "rumah gadang" tetap asri dan berkecukupan..

Bahu membahu, ketika yang diluar memberikan sederetan koreksi, yang di dalam lah yang akan mensortir apa yang bisa ataupun tidak mungkin dilakukan..

"Bak cando lidi, indak ka mungkin barasiah laman dek lidi nan ciek. Sapu tabuek dek lidi nan disatuan jadi sakabek gadang"...

Jangan menakuti perubahan dengan alasan bahwa akan ada yang terkikis habis. karena, Tak ada satu perubahan dari orang pintar nomor satu di dunia sekalipun yang bisa merubah ataupun meruntuhkan pundi adat istiadat minang yang bersandikan kitabullah...

Sabtu, 05 November 2011

10 Dzulhidjah....

Ini idul adha kedua aku disini..
Setelah 2tahun aku melangkahkan kaki ke kota ini..
Alunan takbir terdengar jelas di mesjid depan kamarku..

Mengingat hal indah yang belum lama aku tinggalkan di pekarangan
rumah yang masih tertata apik
Alunan takbir itu mampu membawaku hanyut menuju suasana rumah yang
begitu jelas ada dibayangan mataku...

Mengingat, bahwa selalu ada yang dilepaskan untuk mendapatkan banyak hal
Karena, tanganku pun tak akan mampu menggenggam semua..
Memisahkan antara mimpi yang masih ingin ku capai...
Apa yang ku dapat kemarin, dan apa yang telah kumiliki hingga hari ini...

Rabb... betapa takbirmu membelenggu ingatanku untuk pulang dalam sekejap..
Betapa nada ini memenjarakan otakku dalam kadar kelembaban hati
yang tak hendak kering...

Rabb... aku yang harusnya belajar memaknai idul adha, meski tidak akan sempurna...
Mengingat awal yang tak sepenuhnya ikhlas untuk apa yang kutinggalkan..
Padahal seharusnya, aku yang menyerahkan waktu nyaman ku..
untuk jaminan ataupun mungkin "barter" dengan apa yang telah KAU sediakan untukku,
di depan ini...
Meskipun, sekarang, saat aku disini, apa yang telah KAU ambil,kuserahkan,
sangat tidak sebanding dengan apa yang KAU berikan & ku temukan hari ini...

Sang Pencipta ku,
ku memohon, untuk menegurku terhadap rasa syukur yang terkadang ku lupa..
Sang Pemilik hatiku,
ku meminta untuk selalu menyapa rasa berbagi ku atas apa yang aku punya...
Sang Pemberi,
buat ku selalu melihat, bahwa apa yang aku punya skrg sudah sangat berlebih banyak,
dari apa yang KAU ambil kemarin..

Ada begitu banyak permintaan tidak aku tuliskan, namun begitu lancar aku ucapkan..
Namun, biarkan makna idul adha ini tetap menggelitik hati ku setiap hari..
"Bahwa apa yang KAU beri, harusnya mampu ku jaga dan ku perlakukan dengan baik.
Hingga saat KAU mengambilnya kembali, aku akan merasa bahwa waktu penitipan sudah usai..
Bukan krn KAU tidak mempercayaiku, justru krn ENGKAU memberikan hal besar
yang harus ku jaga kembali, untuk sesuatu yang lebih baik... INSYAALLAH...

Dzulhidjah,10
Depok