Dahsyat, suara mereka yang memberi dukungan untukku memboyongku menjadi bagian dari para pembuat keputusan dinegara ini. Mereka yang menitipkan rasa percaya bahwa aku pasti mendengarkan titah mereka yang kuwakili. Seperti layaknya sebuah suku. Mereka adalah kepala suku, yang harus mengalihkan tugasnya kepadaku. Hanya karena sang kepala suku harus melakukan hal yang berkaitan dengan operasional sehari-hari.
Aku mewakili suara mereka yang mengirimkan ribuan telepati atas apa yang terjadi dan yang mereka perlukan.
Kurangnya pasokan pangan didaerahku, bukan berarti harus melakukan impor dari Negara lain. Rakyatku yang mayoritas petani, hanya perlu diberdayakan untuk berkembang lebih baik. Meninjau apakah krisis ini karena wawasan akan bertani yang tidak tepat, atau mahalnya harga pupuk karena penimbun yang tak bermoral.
Kemajuan negara lain, tidak juga serta merta membuatku, dewan perwakilan akan mengajukan proposal untuk studi banding yang mungkin tidak mengefektifkan waktu melainkan hanya untuk ajang liburan. Ada begitu banyak anak-anak jenius berkebangsaan Indonesia yang masih “berkeliaran” di negara lain. Kirimi mereka surat untuk pulang kembali, membangun dan melestarikan Indonesia dengan menjanjikan bahwa negara ini mampu memberi kesejahteraan, yang tak kalah hebatnya dengan yang ditawarkan negara lain.
Kenyamanan untuk menjalankan tugaspun, bukan berarti negara harus menyediakan mobil dinas mewah, tunjangan dan penghasilan dengan angka fantastis untukku. Sesuatu yang sederhana seringkali membuat lebih elegan dari hanya sekedar menghamburkan uang negara. Padahal, seingatku, uang itu adalah sumbangan dari orang-orang yang telah ku anggap sebagai “ketua” ataupun “komandan”. Maka, alokasikanlah untuk mereka, bukan untuk keluarga dari wakil negara ini. Penghasilan dan tunjangan kerjaku, cukup berada di satu rekening saja. Karena, rupiah yang terlalu banyak akan memusingkanku harus membuka rekening kebank mana lagi. Selebihnya, silahkan perhatikan guru-guru di daerahku, yang telah “membesarkan”ku. Mereka kadang sering memakan lauk sisa semalam hanya untuk penghematan. Tragis dan durhakanya aku jika itu masih terjadi.
Giatkan pembanguan disemua sektorpun, bukan berarti aku akan melupakan, bahwa ada banyak tempat pendidikan yang butuh perbaikan dan perhatian. Karena mereka yang sekarang ada di bangku pendidikan, akan menjadi penerus / pelari estafet selanjutnya. Karena setiap melihat pengemis dan anak jalanan berlari riang di trotoar, aku merasa tidak berhasil untuk membuat mereka kenalan dengan bangku di sekolah dan angka logaritma yang rumit. Itu tidak adil.
Saat masa jabatanku, aku akan membongkar rumah sakit yang angker. Karena, aku tidak akan menerima, mereka-mereka yang sakit menjadi lebih sakit, kritis, koma dan berakhir dengan kematian, hanya karena mereka tidak punya segepok uang untuk “dilemparkan” kewajah instasi kesehatan negara ini. Yang harusnya bertanya “apa gejala / sakit yang dirasakan”, namun seolah-olah bertanya “berapa rupiah yang ada di saku celanamu sekarang”.
Dalam jabatanku, semua saudara sedaerahku minimal, bisa bahagia dalam masa sehatnya, dan tidak mati dalam masa sakitnya. Impianku yang layak untuk dijadikan nyata oleh kalian yang mewakili ku saat ini.